Kehidupan Dunia Hanyalah Kesenangan yang Menipu
Posted by Admin pada 10/10/2009
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah berpesan kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu
‘anhuma, sambil memegang pundak iparnya ini:
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ
أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ
“Jadilah engkau di dunia ini seperti
orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).”
(Hadits Riwayat Al-Bukhari no. 6416)
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
اعْلَمُوا أَنَّمَا
الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ
وَتَكَاثُرٌ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَوْلاَدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ
الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ
حُطَامًا وَفِي اْلآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللهِ
وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
“Ketahuilah oleh
kalian, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu
yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kalian serta
berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang
karenanya tumbuh tanam-tanaman yang membuat kagum para petani, kemudian
tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning lantas menjadi
hancur. Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari
Allah serta keridhaan- Nya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu.” (Al- Hadid: 20)
Bacalah berulang kalam dari
Rabb yang mulia di atas berikut maknanya… Setelahnya, apa yang kamu
pahami dari kehidupan dunia? Masihkah dunia membuaimu? Masihkah
angan-anganmu melambung tuk meraih gemerlapnya? Masihkah engkau tertipu
dengan kesenangannya?
Asy-Syaikh Abdurrahman bin
Nashir As-Sa’di rahimahullahu dalam Tafsir-nya, “Allah Subhanahu wa
Ta’ala mengabarkan tentang hakikat dunia dan apa yang ada di atasnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan akhir kesudahannya dan kesudahan
penduduknya. Dunia adalah permainan dan sesuatu yang melalaikan.
Mempermainkan tubuh dan melalaikan hati. Bukti akan hal ini didapatkan
dan terjadi pada anak-anak dunia [1]. Engkau dapati mereka menghabiskan
waktu-waktu dalam umur mereka dengan sesuatu yang melalaikan hati dan
melengahkan dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun
janji (pahala dan surga, –pent.) dan ancaman (adzab dan neraka, –pent.)
yang ada di hadapan, engkau lihat mereka telah menjadikan agama mereka
sebagai permainan dan gurauan belaka. Berbeda halnya dengan orang yang
sadar dan orang-orang yang beramal untuk akhirat. Hati mereka penuh
disemarakkan dengan dzikrullah, mengenali dan mencintai-Nya. Mereka
sibukkan waktu-waktu mereka dengan melakukan amalan yang dapat
mendekatkan diri mereka kepada Allah daripada membuangnya untuk sesuatu
yang manfaatnya sedikit.”
Asy-Syaikh rahimahullahu
melanjutkan, “Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan
permisalan bagi dunia dengan hujan yang turun di atas bumi. Suburlah
karenanya tumbuh-tumbuhan yang dimakan oleh manusia dan hewan. Hingga
ketika bumi telah memakai perhiasan dan keindahannya, dan para
penanamnya, yang cita- cita dan pandangan mereka hanya sebatas dunia,
pun terkagum-kagum karenanya. Datanglah perintah Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang akhirnya tanaman itu layu, menguning, kering dan hancur.
Bumi kembali kepada keadaannya semula, seakan- akan belum pernah ada
tetumbuhan yang hijau di atasnya. Demikianlah dunia. Tatkala pemiliknya
bermegah-megahan dengannya, apa saja yang ia inginkan dari tuntutan
dunia dapat ia peroleh. Apa saja perkara dunia yang ia tuju, ia dapatkan
pintu-pintunya terbuka. Namun tiba-tiba ketetapan takdir menimpanya
berupa hilangnya dunianya dari tangannya. Hilangnya kekuasaannya…
Jadilah ia meninggalkan dunia dengan tangan kosong, tidak ada bekal yang
dibawanya kecuali kain kafan….” (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal.
841)
Jabir bin Abdillah
radhiyallahu ‘anhuma berkisah, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melewati pasar sementara orang-orang ada di sekitar beliau. Beliau
melintasi bangkai seekor anak kambing yang kecil atau terputus
telinganya (cacat). Beliau memegang telinga bangkai tersebut seraya
berkata:
أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ
بِدِرْهَمٍ؟ فَقَالُوا: مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ
بِهِ؟ قَالَ: أَتُحِبُّوْنَ أَنَّهُ لَكُمْ؟ قَالُوا: وَاللهِ، لَوْ كَانَ
حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيْهِ لِأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ؟
فَقَالَ: فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا
عَلَيْكُمْ
“Siapa di antara
kalian yang suka memiliki anak kambing ini dengan membayar seharga satu
dirham?” Mereka menjawab, “Kami tidak ingin memilikinya dengan harga
semurah apapun. Apa yang dapat kami perbuat dengan bangkai ini?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, “Apakah
kalian suka bangkai anak kambing ini menjadi milik kalian?” “Demi Allah,
seandainya pun anak kambing ini masih hidup, tetaplah ada cacat,
kecil/terputus telinganya. Apatah lagi ia telah menjadi seonggok
bangkai,” jawab mereka. Beliau pun bersabda setelahnya, “Demi Allah,
sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada hinanya
bangkai ini bagi kalian.” (HR. Muslim no.7344)
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pun pernah bersabda:
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ
عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ
مَاءٍ
“Seandainya dunia punya nilai di sisi
Allah walau hanya menyamai nilai sebelah sayap nyamuk, niscaya Allah
tidak akan memberi minum kepada orang kafir seteguk airpun.”
(HR. At-Tirmidzi no. 2320, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 686)
Tatkala orang-orang yang
utama, mulia lagi berakal mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah menghinakan dunia, mereka pun enggan untuk tenggelam dalam
kesenangannya. Apatah lagi mereka mengetahui bahwa Nabi mereka
Shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup di dunia penuh kezuhudan dan
memperingatkan para shahabatnya dari fitnah dunia. Mereka pun mengambil
dunia sekedarnya dan mengeluarkannya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala
sebanyak- banyaknya. Mereka ambil sekedar yang mencukupi dan mereka
tinggalkan yang melalaikan.
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah berpesan kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu
‘anhuma, sambil memegang pundak iparnya ini:
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ
أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ
“Jadilah engkau di dunia ini seperti
orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).”
(HR. Al-Bukhari no. 6416)
Abdullah bin Umar
radhiyallahu ‘anhuma pun memegang teguh wasiat Nabinya baik dalam ucapan
maupun perbuatan. Dalam ucapannya beliau berkata setelah menyampaikan
hadits Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, “Bila engkau
berada di sore hati maka janganlah engkau menanti datangnya pagi.
Sebaliknya bila engkau berada di pagi hari, janganlah menanti sore.
Gunakanlah waktu sehatmu (untuk beramal ketaatan) sebelum datang
sakitmu. Dan gunakan hidupmu (untuk beramal shalih) sebelum kematian
menjemputmu.”
Adapun dalam perbuatan,
beliau radhiyallahu ‘anhuma merupakan shahabat yang terkenal dengan
kezuhudan dan sifat qana’ahnya (merasa cukup walau dengan yang sedikit)
terhadap dunia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Pemuda
Quraisy yang paling dapat menahan dirinya dari dunia adalah Abdullah
bin Umar radhiyallahu ‘anhuma.” (Siyar A’lamin Nubala`, hal. 3/211)
Ibnu Baththal rahimahullahu
menjelaskan berkenaan dengan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma di
atas, “Dalam hadits ini terdapat isyarat untuk mengutamakan sifat
zuhud dalam kehidupan dunia dan mengambil perbekalan secukupnya.
Sebagaimana musafir tidak membutuhkan bekal lebih dari apa yang dapat
mengantarkannya sampai ke tujuan, demikian pula seorang mukmin di dunia
ini, ia tidak butuh lebih dari apa yang dapat menyampaikannya ke tempat
akhirnya.” (Fathul Bari, 11/282)
Al-Imam An-Nawawi
rahimahullahu berkata memberikan penjelasan terhadap hadits ini, “Janganlah engkau condong kepada
dunia. Jangan engkau jadikan dunia sebagai tanah air (tempat menetap),
dan jangan pula pernah terbetik di jiwamu untuk hidup kekal di dalamnya.
Jangan engkau terpaut kepada dunia kecuali sekadar terkaitnya seorang
asing pada selain tanah airnya, di mana ia ingin segera meninggalkan
negeri asing tersebut guna kembali kepada keluarganya.”
(Syarhu Al-Arba’in An- Nawawiyyah fil Ahadits Ash-Shahihah
An-Nabawiyyah, hal. 105)
Suatu ketika Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidur di atas selembar tikar. Ketika bangkit dari tidurnya tikar
tersebut meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Berkatalah para shahabat
yang menyaksikan hal itu, “Wahai Rasulullah, seandainya boleh kami
siapkan untukmu kasur yang empuk!” Beliau menjawab:
مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا
فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ
وَتَرَكَهَا
“Ada kecintaan apa aku dengan dunia? Aku
di dunia ini tidak lain kecuali seperti seorang pengendara yang mencari
teteduhan di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.”
(HR. At-Tirmidzi no. 2377, dishahihkan Asy-Syaikh Al- Albani
rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi)
Umar ibnul Khaththab
radhiyallahu ‘anhu pernah menangis melihat kesahajaan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai beliau hanya tidur di atas selembar
tikar tanpa dialasi apapun. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata:
فَرَأَيْتُ أَثَرَ الْحَصِيْرِ فِي
جَنْبِهِ فَبَكَيْتُ. فَقَالَ: مَا يُبْكِيْكَ؟ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ
اللهِ، إِنَّ كِسْرَى وَقَيْصَرَ فِيْمَا هُمَا فِيْهِ وَأَنْتَ رَسُوْلُ
اللهِ. فَقَالَ: أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُوْنَ لَهُمُ الدُّنْيَا وَلَنَا
اْلآخِرَةُ؟
Aku melihat bekas tikar di
lambung/rusuk beliau, maka aku pun menangis, hingga mengundang tanya
beliau, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah,
sungguh Kisra (raja Persia, –pent.) dan Kaisar (raja Romawi –pent.)
berada dalam kemegahannya, sementara engkau adalah utusan Allah [2].”
Beliau menjawab, “Tidakkah engkau ridha mereka mendapatkan dunia
sedangkan kita mendapatkan akhirat?” (HR. Al-Bukhari no. 4913 dan Muslim no.
3676)
Dalam kesempatan yang sama,
Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Nabinya:
ادْعُ اللهَ فَلْيُوَسِّعْ عَلَى
أُمَّتِكَ فَإِنَّ فَارِسَ وَالرُّوْمَ وُسِّعَ عَلَيْهِمْ وَأُعْطُوا
الدُّنْيَا وَهُمْ لاَ يَعْبُدُوْنَ اللهَ. وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ:
أَوَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ
لَهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Mohon engkau wahai
Rasulullah berdoa kepada Allah agar Allah memberikan kelapangan hidup
bagi umatmu. Sungguh Allah telah melapangkan (memberi kemegahan) kepada
Persia dan Romawi, padahal mereka tidak beribadah kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala.” Rasulullah meluruskan duduknya, kemudian berkata, “Apakah
engkau dalam keraguan, wahai putra Al-Khaththab? Mereka itu adalah
orang-orang yang disegerakan kesenangan (kenikmatan hidup/rezeki yang
baik- baik) mereka di dalam kehidupan dunia [3] ?” (HR. Al-Bukhari
no. 5191 dan Muslim no. 3679)
Demikianlah nilai dunia,
wahai saudariku. Dan tergambar bagimu bagaimana orang- orang yang
bertakwa lagi cendikia itu mengarungi dunia mereka. Mereka enggan untuk
tenggelam di dalamnya, karena dunia hanyalah tempat penyeberangan… Di ujung sana menanti negeri
keabadian yang keutamaannya tiada terbandingi dengan dunia.
Al-Mustaurid bin Syaddad
radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَا الدُّنْيَا فِي اْلآخِرَةِ إِلاَّ
مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ
تَرْجِعُ
“Tidaklah dunia bila dibandingkan
dengan akhirat kecuali hanya semisal salah seorang dari kalian
memasukkan sebuah jarinya ke dalam lautan. Maka hendaklah ia melihat apa
yang dibawa oleh jari tersebut ketika diangkat?” (HR.
Muslim no. 7126)
Al-Imam An-Nawawi
rahimahullahu menerangkan, “Makna hadits di atas adalah pendeknya masa
dunia dan fananya kelezatannya bila dibandingkan dengan kelanggengan
akhirat berikut kelezatan dan kenikmatannya, tidak lain kecuali seperti
air yang menempel di jari bila dibandingkan dengan air yang masih
tersisa di lautan.” (Al-Minhaj, 17/190)
Lihatlah demikian kecilnya
perbendaharaan dunia bila dibandingkan dengan akhirat. Maka siapa lagi
yang tertipu oleh dunia selain orang yang pandir, karena dunia takkan
dapat menipu orang yang cerdas dan berakal. (Bahjatun Nazhirin, 1/531)
Wallahu ta’ala a’lam
bish-shawab.
Footnote :
[1] Mereka yang tertipu
dengan dunia.
[2] Dalam riwayat lain yang
diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 3675) disebutkan ucapan Umar ibnul
Khaththab radhiyallahu ‘anhu:
فَابْتَدَرَتْ
عَيْنَايَ. قَالَ: مَا يُبْكِيْكَ، يَا ابْنَ الْخَطَّابِ؟ قُلْتُ: يَا
نَبِيَّ اللهِ وَمَا لِي لاَ أَبْكِي وَهَذَا الْحَصِيْرُ قَدْ أَثَّرَ فِي
جَنْبِكَ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ لاَ أَرَى فِيْهَا إِلاَّ مَا أَرَى،
وَذَاكَ قَيْصَرُ وَكِسْرَى فِي الثِّمَارِ وَاْلأَنْهَارِ وَأَنْتَ
رَسُوْلُ اللهِ وَصَفْوَتُهُ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ
“Maka bercucuranlah
air mataku.” Melihat hal itu beliau bertanya, “Apa yang membuatmu
menangis, wahai putra Al-Khaththab?” Aku menjawab, “Wahai Nabiyullah,
bagaimana aku tidak menangis, aku menyaksikan tikar ini membekas pada
rusukmu. Aku melihat lemarimu tidak ada isinya kecuali sekedar yang aku
lihat. Sementara Kaisar dan Kisra dalam limpahan kemewahan dengan
buah-buahan dan sungai-sungai yang mengalir. Padahal engkau (jauh lebih
mulia daripada mereka, –pent.) adalah utusan Allah dan manusia
pilihan-Nya, dalam keadaan lemarimu hanya begini.”
[3] Adapun di akhirat kelak,
mereka tidak mendapatkan apa-apa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَيَوْمَ يُعْرَضُ
الَّذِيْنَ كَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي
حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ
عَذَابَ الْهُوْنِ بِمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُوْنَ فِي اْلأَرْضِ بِغَيْرِ
الْحَقِّ وَبِمَا كُنْتُمْ تَفْسُقُوْنَ
“Dan ingatlah hari
ketika orang-orang kafir dihadapkan ke neraka, kepada mereka dikatakan,
‘Kalian telah menghabiskan kesenangan hidup (rezeki yang baik-baik)
kalian dalam kehidupan duniawi saja dan kalian telah bersenang-senang
dengannya. Maka pada hari ini kalian dibalas dengan adzab yang
menghinakan karena kalian telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa
haq dan karena kalian berbuat kefasikan’.” (Al-Ahqaf: 20)
Sumber:
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=587,
Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah, Judul:Jangan Terpikat
oleh Dunia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar